Kebingungan menjadi milik
khalayak ramai, tidak hanya bicara elit politik atau tim sukses saja tetapi
sudah merasuk kepada masyarakat dengan bantuan media baik penyiaran, cetak
ataupun media daring. Pokok kebingungannya tentu berkaitan dengan perhitungan
hasil pasca pencoblosan tanggal 9 april 2014 lalu. Secara pribadi awalnya
berharap bahwa di tanggal tersebut, segala macam perbedaan dan tindakan saling
menekan antara dua pihak yang mendukung calon presiden dan wakil presiden
masing-masing akan reda. Terutama dua media televisi yang begitu gencar menjadi
bagian penting dalam proses kampanye untuk menebar harapan dengan berbagai
program untuk meraih hati masyarakat dan memantapkan masyarakat dalam
menjatuhkan pilihan hak politiknya.
Ternyata kenyataan berbicara
lain, pasca pencoblosan di hari rabu yang cerah itu. Perseteruan media televisi
semakin meruncing. Karena masing-masing menampilkan hasil yang berbeda dan
bertolakbelakang. Media televisi ini begitu getol dan haqul yakin bahwa jagonya
sebagai pemenang berdasarkan hasil quick
count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey masing-masing. Nah yang
semakin rumit adalah para pasangan calon presiden dan wakil presidenpun
mendeklarasikan kemenangan versi quick
count ini dengan penuh sukacita seolah-olah pertandingan sudah selesai. Akibatnya
apa?...... masyarakat menjadi bingung.
Saya tidak akan membahas elemen
lain yang bingung, karena mungkin analisisnya berbeda. Sebagai bagian dari
masyarakat dan berinteraksi langsung dengan masyarakat keseharian betapa aura
kebingungan tersebut menjadi merata dan tidak pandang bulu. Dalam satu hari
pasca 9 juli, mulai dari tukang sayur langganan, tukang koran, teman kantor, satpam
dan office boy kantor, customer service bank, satpam kompleks
perumahan, tukang loundry keliling, pa RW yang kebetulan tetangga terdekat
hingga tukang sampah depan rumah pada
saat disapa dan berbasa basi maka muncul pertanyaan senada, “Jadi presiden kita
siapa?”
Memang mungkin tidak mewakili
seluruh masyarakat, tapi minimal menjadi cerminan masyarakat disekitar saya. Apakah
seperti jumlah TPS sampel quick count
versus jumlah TPS real?... entahlah. Yang penting secara pribadi berusaha keras
keluar dari semua kebingungan, menghindari perang opini yang begitu memabukkan.
Apalagi jiga menengok media sosial, halaman facebook dan twitter begitu jelas
memihak masing-masing jagonya. Padahal......
Padahal sudah jelas dari awal
bahwa lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan pemilihan umum presiden dan
wakil presiden adalah Komisi Pemilihan Umum, titik. Sehingga mekanisme tahapan
dan aturan KPUlah yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan pemilihan presiden
ini. Jadi saya coba menyampaikan kepada sebagian kecil masyarakat disekitarku
tadi bahwa hasil perhitungan quick count
bukan segalanya, bukan dasar untuk menentukan kemenangan. Itu adalah salah satu
metode untuk “memperkirakan” suara kemenangan dan tidak mutlak. Kalaupun dibandingkan
dengan pemilu legislatif ataupun pemilihan kepala daerah ternyata ada yang
tepat dan akurat, itu hal wajar karena ilmu statistika bertujuan untuk “medekati”
hasil real dalam berbagai peristiwa.
Sayangnya pemahaman sebagian
kecil masyarakat disekitarku itu tidak sama, seperti adagium lama, “Jangan
pernah menasehati orang yang sedang jatuh cinta”. Semua saran, pendapat dan kritik akan mental
menabrak tembok keteguhan hati bahwa si dia adalah is the best. Betapa pengaruh media begitu luar biasa khususnya
televisi yang begitu gencar memberi informasi kepada masyarakat dengan aneka
angka yang berbeda. Yang semakin hot adalah disaat angka tersaji di televisi
lalu dijumlahkan ternyata lebih dari 100%, semakin berkembanglah opini bahwa
lembaga survey tersebut tidak kredibel dan bla bla bla...... cape deh. Maka semakin
rumit otak masyarakat dipenuhi informasi yang berbeda, pemenang pilpres yang
berbeda versi quick count. Sehingga secara
pribadi yang dilakukan adalah 1)Ambil remote TV, 2)Pindahkan ke program siaran
yang khusus tentang olahraga atau musik dan film, 3)Pijit tombol off dan
lakukan aktifitas lain seperti tadarusan bagi umat islam yang sedang
menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Kerumitan dan kebingungan
masyarakat agak teredam oleh himbaun Komisi Penyiaran Indonesia melalui siaran
persnya kepada media televisi untuk menghentikan segera penayangan hasil quick
count, real count versi lembaga survey karena berpotensi meresahkan masyarakat
juga tidak sesuai dengan P3SPS (Pedoman Penyelenggaraan Penyiaran dan Standar Program
Siaran). Meskipun sampai tadi malam masih ada salah satu media televisi yang “ngotot”
menampilkan running text hasil quick count dari lembaga survey
tertentu.
Semoga sebagian kecil masyarakat
disekitar saya dan juga masyarakat indonesia secara umum bisa membuka hati
membuka mata untuk kembali kepada pemahaman yang sama bahwa perhitungan quick count bukan segalanya. Tetapi hasil
rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum secara berjenjanglah yang menjadi dasar
semuanya yang berakhir pada tanggal 22 juli 2014. Mari kita kawal dan cermati
bahwa proses demokrasi adalah pembelajaran bagi semua elemen.
Hari ini bertemu dengan
segelintir masyarakat disekitarku.... ternyata kebingungan masih membelenggu.
Semoga.
@andriekw at IBRMCicendo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar