Serasa baru beberapa hari berlalu, sebuah rasa suka duka dalam fase kehidupan mencari jati diri setelah lulus dari SMA. Padahal waktu telah memisahkan memori ini belasan tahun lalu, tetapi itulah Karunia Allah sehingga dengan hitungan detik, kenangan itu dengan mudah kembali, menari-nari dalam ingatan dan mengajak kita merefleksi diri, siapa kita di masa lalu.
Setelah berhasil melewati masa-masa paling indah di SMA ( lirik lagu yach?… ), tiba saatnya kita bersuka cita, berhasil meraih nilai kelulusan diatas rata-rata yang disyaratkan oleh lembaga pendidikan, berwujud lembaran kertas agak tebal yaitu STTB (Surat Tanda Tamat Belajar), bukan surat tanda tamat berpacaran yach dan NEM (Nilai Ebtanas Murni). Ketawa-ketiwi dengan rekan-rekan dan tak jarang yang terjebak dalam keceriaan kebablasan seperti konvoi kendaraan bermotor dan mencorat-coret baju seragam. Padahal lebih bermanfaat bila disumbangkan.
Diriku, seorang anak SMA yang baru lulus. Ada rasa bangga dan suka cita bisa lulus dari sekolah yang termasuk SMA negeri rangking lima besar di Kota Kembang ini. Tapi juga terselip rasa galau, sehubungan dengan lanjutan pendidikan ini, yaitu memasuki jenjang perkuliahan. Untungnya karena di kota, informasi tentang lanjutan pendidikan cukup mudah didapat. Bimbingan belajarpun ikut serta termasuk aneka ‘try out UMPTN’.. sekarang ganti nama jadi SMPTN dan istilah lainnya. Sehingga ukuran kemampuan diri di banding kuota per jurusan di Perguruan Tinggi favorit telah terpetakan. Hanya kendala yang membebani adalah lanjutan pembiayaan kuliah, notabene orang tua di kampung mungkin berusaha memberikan yang terbaik bagi anaknya. Tetapi diriku berfikir, kasihan orang tua dengan penghasilan ala kadarnya menjadi guru SD di kampung. Maklum dulu belum seperti saat ini, para guru tajir karena mendapatkan tunjangan sertifikasi yang nilainya jauh lebih besar.
Akhirnya diputuskan selain mencoba peruntungan tes masuk UNPAD jurusan Kedokteran Umum dan jurusan Matematika di Fakultas MIFA juga mengikuti tes untuk salah satu sekolah kedinasan. Tujuannya simple, bisa kuliah yang memiliki ikatan dinas sehingga selama pendidikan diberi beasiswa dan tenu setelah lulus dijamin memiliki pekerjaan. Kebetulan rangkaian jadwal seleksinya berbeda sehingga keduanya bisa dilaksanakan. Alhamdulilah setelah melewati rangkaian tes dan diumumkan di koran, ternyata UMPTN lulus pada pilihan kedua, yaitu Fakultas MIPA Universitas Padjajaran. Haru dan bangga, apalagi orangtua di kampung, tidak berfikir panjang langsung menjual sawah yang tinggal satu petak untuk biaya kuliah di UNPAD termasuk biaya kost nya.
Diriku pun melangkah ke kampus jalan Dipatiukur Bandung pukul 02.00 dini hari, memulai kegiatan ospek yang kata orang adalah momen yang paling merepotkan sebelum memasuki perkuliahan. Ternyata benar betapa banyak tugas yang aneh tapi nyata. Seperti wajib membawa kursi terbang, pake kaos kaki bola yang sampai paha beda warna kanan kiri, bawa kacang ijo 9 butir. Rambut diikat pita warna, pake tanda pengenal dari karton dan digantung ke leher dengan tali rapia. Bawa lidi dipotong ukuran 15 cm sebanyak 90 buah. Ospek memang melelahkan, tapi ospek sekaligus mengasyikan. Nambah temen, serasa seperjuangan bahu membahu dalam kelompok ataupun saling membantu dalam menyelesaikan tugas individu. Selama seminggu diforsir dari dini hari hingga malam hari, teriakan kakak tingkat terutama yang disebut seksi tatib, wadduh sangarr banget mukanya kerjaan terika-teriak. Pengen ngelawan tapi ngadepin kakak tingkat begitu banyak, keder juga. Yach sabar aja, Cuma sehinggu kok ospeknya. Meskipun dongkol pasti ada. Ospek akhirnya terlewati dan resmi menerima kaos serta jas almamater… wuiih bangga nya, dan ospek telah menjadi bagian dari kenangan.
Tetapi perjalanan hidup masih berlanjut, khususnya ospek alias orientasi perkenalan kampus. Perkuliahan fakultas MIPA ternyata di Kawasan Jatinangor sekitar 20 km dari Kota Bandung. Pusing juga mesti cari kamar kost dan pastinya adaptasi dengan lingkungan. Setelah cari kesana sini, akhirnya dapet kost-an yang lumayan bersih tapi agak jauh dari kampus, mesti jalan 15 menit melewati bekas rel kereta api yang menjulang menyerupai jembatan yang dikenal sebagai jembatan cingcin. Ternyata ini ospek yang sebenarnya.. pikiran saat itu. Disaat kuliah perdana ternyata bangga menjadi bagian dari keluarga besar UNPAD, meski agak galau pas inget biaya selanjutnya. Hari kedua perkuliahan diawali dengan perkenalan para dosen dan perwalian. Tetapi siang hari ada berita via telepon bahwa tes masuk ke sekolah kedinasan dinyatakan lulus dan 2 hari lagi harus segera masuk ke kampus dengan membawa berbagai perlengkapan untuk mengikuti ospek…. wadduh ospek lagi bro?..
Di kamar kost merenung mempertimbangkan nasib baik ini, lulus UMPTN juga lulus sekolah kedinasan…. asyik khan?.. tapi bingung. Setelah melamun dilanjutkan shalat istikharah, menguatkan diri untuk masuk dulu ke sekolah kedinasan yang kebetulan masih satu kawasan di Jatinangor. Balik segera ke Bandung, persiapkan segala perlengkapan dan di hari yang telah ditentukan berkumpul di halaman Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat atau yang dikenal dengan Gedung Sate. Setelan baju putih lengan panjang dan celana hitam, ikat pinggang juga sepatu hitam tak lupa topi putih sesuai persyaratan. Setelah pemeriksaan barang-barang dan berkas administrasi, kami di ceramahi dalam ruangan lalu berangkat bersama seluruh perwakilan yang lulus se jawa barat untuk memulai pendidikan kedinasan diantar oleh tatapan sendu kakak dari ibuku yang selama SMA ikut tinggal di rumahnya.
Tiba di kampus sekolah kedinasan ternyata disambut dengan keramahan luar biasa dari kakak tingkat yang disebut dengan istilah senior. Tidak boleh menyebut kampus tetapi kesatrian… wow seperti cerita dunia persilatan yach?… sungguh aneh tapi menyenangkan. Ospek yang bersahabat keliatannya akan dihadapi. Enjoy saja lah. Apalagi udah terlatih ikut ospek seminggu yang lalu, minimal mental dongkol udah kuat dan tidak melawan frontal kepada kakak tingkat selaku panitia ospek. Ternyata semua salah besar, keramahan senior hanya berlaku satu hari karena status kami baru sebagai ‘tamu’. Setelah upacara penerimaan kami selalu angkatan baru maka hilanglah senyum penuh canda dari para senior terganti tatapan tegas dan cenderung sadis melihat kita bagaikan anak domba yang tak berdaya di tatap lekat oleh mata elang raksasa…. duh ospek berarti harus dijalani sekali lagi.
Setiap kesalahan berujung push up dan sit up, juga terkadang jalan jongkok yang ditemani teriak marah senior yang membahana. Tetapi karena semangat tinggi untu mengurangi beban orang tua dalam hal pembiayaan perkuliahan maka apapun yang terjadi harus dihadapi dan diyakini semua hal ada penyelesaiannya. Ospek resmi memang hanya satu minggu tetapi opsek tidak resminya ternyata sangat lama, yaitu satu tahun ajaran, bukan seminggu bukan satu bulan… tetapi satu tahun angaran. Yaitu selama menjadi tingkat 1. Apalagi kehidupan ksatrian yang diawasi dan dipenuhi aturan tegas selama 24 jam maka lengkap sudah ospek membelenggu dan menghantui diriku siang dan malam…. stress juga bro.
Satu hal yang menjadikan diriku kuat menjalani adalah tekad yang bulat untuk meringankan beban orang tua dari sisi biaya yang kedua kepastian masa depan pun sudah ada di depan mata tinggal kita jalani dengan penuh kesabaran dan keteguhan diawali dengan menjalani ospek ini dengan keceriaan. Segimana bete nya, separah apapun dongkolnya terhadap situasi juga senior dalam memberikan hukuman yang kadang tidak masuk akal. Misalnya karena semir sepatu tidak kinclong atau gerakan hormat yang tidak pas, malam hari setelah apel malam wajib menghadap ke asrama atau barak senior dengan membawa cicak empat ekor dan harus dua jantan dua betina. Ospek yang kejam, trus gimana caranya aku tahu kalau itu cicak jantan atau betina? Saat itu masih belum jaman mbah google sehingga perpustakaan yang menjadi sumber informasi. Tapi hingga sore menjelang tidak ada buku yang membahas tentang ciri-ciri perbedaan cicak jantan dan betina. Perasaan tertekan menyerang, tetapi ternyata semakin membuka peluang otak untuk berputar dan mencari penyelesaian. Seperti kata pepatah, masalah itu bukan di hindari tetapi di hadapi.
Malam harinya dengan langkah mantap menuju asrama senior untuk menyetorkan tugas berupa cicak hidup empat ekor. Benar saja, pertanyaannya adalah “Dari mana kamu tahu kalau ini dua pasang? Diriku sedikit tertegun dan sambil menguatkan diri maka jawaban yang keluar adalah “Siappp Kak, tadi pas saya tangkap, cicaknya sedang berdua-dua, pasti itu cicak dalah pasangan lawan jenis”. Hawa ospek masih terasa menyusup ke kalbu ku menimbulkan getar kekhawatiran karena senior marah dan diriku bisa gempor karena harus push up 500 kali. Sang senior tersenyum dengan jawaban itu, dan memperbolehkan diriku kembali ke asrama, tanpa terjadi bentakan, tanpa push up berlebihan.
Itu sekelumit kisah di masa ospek, serasa baru kemarin berlalu. Banyak cerita di ksatrian tercinta. Mungkin esok lusa tertuang kembali menjadi rangkaian kata yang bermakna di tempat yang semenstinya. (andriekw).
Setelah berhasil melewati masa-masa paling indah di SMA ( lirik lagu yach?… ), tiba saatnya kita bersuka cita, berhasil meraih nilai kelulusan diatas rata-rata yang disyaratkan oleh lembaga pendidikan, berwujud lembaran kertas agak tebal yaitu STTB (Surat Tanda Tamat Belajar), bukan surat tanda tamat berpacaran yach dan NEM (Nilai Ebtanas Murni). Ketawa-ketiwi dengan rekan-rekan dan tak jarang yang terjebak dalam keceriaan kebablasan seperti konvoi kendaraan bermotor dan mencorat-coret baju seragam. Padahal lebih bermanfaat bila disumbangkan.
Diriku, seorang anak SMA yang baru lulus. Ada rasa bangga dan suka cita bisa lulus dari sekolah yang termasuk SMA negeri rangking lima besar di Kota Kembang ini. Tapi juga terselip rasa galau, sehubungan dengan lanjutan pendidikan ini, yaitu memasuki jenjang perkuliahan. Untungnya karena di kota, informasi tentang lanjutan pendidikan cukup mudah didapat. Bimbingan belajarpun ikut serta termasuk aneka ‘try out UMPTN’.. sekarang ganti nama jadi SMPTN dan istilah lainnya. Sehingga ukuran kemampuan diri di banding kuota per jurusan di Perguruan Tinggi favorit telah terpetakan. Hanya kendala yang membebani adalah lanjutan pembiayaan kuliah, notabene orang tua di kampung mungkin berusaha memberikan yang terbaik bagi anaknya. Tetapi diriku berfikir, kasihan orang tua dengan penghasilan ala kadarnya menjadi guru SD di kampung. Maklum dulu belum seperti saat ini, para guru tajir karena mendapatkan tunjangan sertifikasi yang nilainya jauh lebih besar.
Akhirnya diputuskan selain mencoba peruntungan tes masuk UNPAD jurusan Kedokteran Umum dan jurusan Matematika di Fakultas MIFA juga mengikuti tes untuk salah satu sekolah kedinasan. Tujuannya simple, bisa kuliah yang memiliki ikatan dinas sehingga selama pendidikan diberi beasiswa dan tenu setelah lulus dijamin memiliki pekerjaan. Kebetulan rangkaian jadwal seleksinya berbeda sehingga keduanya bisa dilaksanakan. Alhamdulilah setelah melewati rangkaian tes dan diumumkan di koran, ternyata UMPTN lulus pada pilihan kedua, yaitu Fakultas MIPA Universitas Padjajaran. Haru dan bangga, apalagi orangtua di kampung, tidak berfikir panjang langsung menjual sawah yang tinggal satu petak untuk biaya kuliah di UNPAD termasuk biaya kost nya.
Diriku pun melangkah ke kampus jalan Dipatiukur Bandung pukul 02.00 dini hari, memulai kegiatan ospek yang kata orang adalah momen yang paling merepotkan sebelum memasuki perkuliahan. Ternyata benar betapa banyak tugas yang aneh tapi nyata. Seperti wajib membawa kursi terbang, pake kaos kaki bola yang sampai paha beda warna kanan kiri, bawa kacang ijo 9 butir. Rambut diikat pita warna, pake tanda pengenal dari karton dan digantung ke leher dengan tali rapia. Bawa lidi dipotong ukuran 15 cm sebanyak 90 buah. Ospek memang melelahkan, tapi ospek sekaligus mengasyikan. Nambah temen, serasa seperjuangan bahu membahu dalam kelompok ataupun saling membantu dalam menyelesaikan tugas individu. Selama seminggu diforsir dari dini hari hingga malam hari, teriakan kakak tingkat terutama yang disebut seksi tatib, wadduh sangarr banget mukanya kerjaan terika-teriak. Pengen ngelawan tapi ngadepin kakak tingkat begitu banyak, keder juga. Yach sabar aja, Cuma sehinggu kok ospeknya. Meskipun dongkol pasti ada. Ospek akhirnya terlewati dan resmi menerima kaos serta jas almamater… wuiih bangga nya, dan ospek telah menjadi bagian dari kenangan.
Tetapi perjalanan hidup masih berlanjut, khususnya ospek alias orientasi perkenalan kampus. Perkuliahan fakultas MIPA ternyata di Kawasan Jatinangor sekitar 20 km dari Kota Bandung. Pusing juga mesti cari kamar kost dan pastinya adaptasi dengan lingkungan. Setelah cari kesana sini, akhirnya dapet kost-an yang lumayan bersih tapi agak jauh dari kampus, mesti jalan 15 menit melewati bekas rel kereta api yang menjulang menyerupai jembatan yang dikenal sebagai jembatan cingcin. Ternyata ini ospek yang sebenarnya.. pikiran saat itu. Disaat kuliah perdana ternyata bangga menjadi bagian dari keluarga besar UNPAD, meski agak galau pas inget biaya selanjutnya. Hari kedua perkuliahan diawali dengan perkenalan para dosen dan perwalian. Tetapi siang hari ada berita via telepon bahwa tes masuk ke sekolah kedinasan dinyatakan lulus dan 2 hari lagi harus segera masuk ke kampus dengan membawa berbagai perlengkapan untuk mengikuti ospek…. wadduh ospek lagi bro?..
Di kamar kost merenung mempertimbangkan nasib baik ini, lulus UMPTN juga lulus sekolah kedinasan…. asyik khan?.. tapi bingung. Setelah melamun dilanjutkan shalat istikharah, menguatkan diri untuk masuk dulu ke sekolah kedinasan yang kebetulan masih satu kawasan di Jatinangor. Balik segera ke Bandung, persiapkan segala perlengkapan dan di hari yang telah ditentukan berkumpul di halaman Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat atau yang dikenal dengan Gedung Sate. Setelan baju putih lengan panjang dan celana hitam, ikat pinggang juga sepatu hitam tak lupa topi putih sesuai persyaratan. Setelah pemeriksaan barang-barang dan berkas administrasi, kami di ceramahi dalam ruangan lalu berangkat bersama seluruh perwakilan yang lulus se jawa barat untuk memulai pendidikan kedinasan diantar oleh tatapan sendu kakak dari ibuku yang selama SMA ikut tinggal di rumahnya.
Tiba di kampus sekolah kedinasan ternyata disambut dengan keramahan luar biasa dari kakak tingkat yang disebut dengan istilah senior. Tidak boleh menyebut kampus tetapi kesatrian… wow seperti cerita dunia persilatan yach?… sungguh aneh tapi menyenangkan. Ospek yang bersahabat keliatannya akan dihadapi. Enjoy saja lah. Apalagi udah terlatih ikut ospek seminggu yang lalu, minimal mental dongkol udah kuat dan tidak melawan frontal kepada kakak tingkat selaku panitia ospek. Ternyata semua salah besar, keramahan senior hanya berlaku satu hari karena status kami baru sebagai ‘tamu’. Setelah upacara penerimaan kami selalu angkatan baru maka hilanglah senyum penuh canda dari para senior terganti tatapan tegas dan cenderung sadis melihat kita bagaikan anak domba yang tak berdaya di tatap lekat oleh mata elang raksasa…. duh ospek berarti harus dijalani sekali lagi.
Setiap kesalahan berujung push up dan sit up, juga terkadang jalan jongkok yang ditemani teriak marah senior yang membahana. Tetapi karena semangat tinggi untu mengurangi beban orang tua dalam hal pembiayaan perkuliahan maka apapun yang terjadi harus dihadapi dan diyakini semua hal ada penyelesaiannya. Ospek resmi memang hanya satu minggu tetapi opsek tidak resminya ternyata sangat lama, yaitu satu tahun ajaran, bukan seminggu bukan satu bulan… tetapi satu tahun angaran. Yaitu selama menjadi tingkat 1. Apalagi kehidupan ksatrian yang diawasi dan dipenuhi aturan tegas selama 24 jam maka lengkap sudah ospek membelenggu dan menghantui diriku siang dan malam…. stress juga bro.
Satu hal yang menjadikan diriku kuat menjalani adalah tekad yang bulat untuk meringankan beban orang tua dari sisi biaya yang kedua kepastian masa depan pun sudah ada di depan mata tinggal kita jalani dengan penuh kesabaran dan keteguhan diawali dengan menjalani ospek ini dengan keceriaan. Segimana bete nya, separah apapun dongkolnya terhadap situasi juga senior dalam memberikan hukuman yang kadang tidak masuk akal. Misalnya karena semir sepatu tidak kinclong atau gerakan hormat yang tidak pas, malam hari setelah apel malam wajib menghadap ke asrama atau barak senior dengan membawa cicak empat ekor dan harus dua jantan dua betina. Ospek yang kejam, trus gimana caranya aku tahu kalau itu cicak jantan atau betina? Saat itu masih belum jaman mbah google sehingga perpustakaan yang menjadi sumber informasi. Tapi hingga sore menjelang tidak ada buku yang membahas tentang ciri-ciri perbedaan cicak jantan dan betina. Perasaan tertekan menyerang, tetapi ternyata semakin membuka peluang otak untuk berputar dan mencari penyelesaian. Seperti kata pepatah, masalah itu bukan di hindari tetapi di hadapi.
Malam harinya dengan langkah mantap menuju asrama senior untuk menyetorkan tugas berupa cicak hidup empat ekor. Benar saja, pertanyaannya adalah “Dari mana kamu tahu kalau ini dua pasang? Diriku sedikit tertegun dan sambil menguatkan diri maka jawaban yang keluar adalah “Siappp Kak, tadi pas saya tangkap, cicaknya sedang berdua-dua, pasti itu cicak dalah pasangan lawan jenis”. Hawa ospek masih terasa menyusup ke kalbu ku menimbulkan getar kekhawatiran karena senior marah dan diriku bisa gempor karena harus push up 500 kali. Sang senior tersenyum dengan jawaban itu, dan memperbolehkan diriku kembali ke asrama, tanpa terjadi bentakan, tanpa push up berlebihan.
Itu sekelumit kisah di masa ospek, serasa baru kemarin berlalu. Banyak cerita di ksatrian tercinta. Mungkin esok lusa tertuang kembali menjadi rangkaian kata yang bermakna di tempat yang semenstinya. (andriekw).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar