Selasa, 15 Oktober 2013

***Lupakan Masalahmu, Mari Bergoyang***

Suara musik dangdut yang keras ditingkahi tepuk tangan penonton memompa semangat biduan lokal bergoyang dan bernyanyi dibalut rok mini dan stoking sewarna kulit sambil tak henti mengajak hadirin untuk berdendang dan menggerakan anggota badan.

Empat pemuda dan tiga orang tua berjoged dengan gaya seenaknya menikmati alunan musik yang berkumandang tiada hentinya. Meskipun sering petugas keamanan menarik keluar arena karena tingkah dan gerakan yang tidak terkontrol. Apa sebab? Sepintas dapat dilihat bahwa para penjoged sedang teler karena menenggak minuman keras. Mata merah ketawa dan senyum sendiri sambil bergoyang mengejar alunan nada yang menggema di relung kehidupan dan mengantar pasangan pengantin baru memasuki hutan belantara kehidupan bersama yang sebenarnya.

Agak bingung juga, disisi kiri pelaminan di buat semegah mungkin untuk menampung tamu berucap selamat dilanjutkan parasmanan all you can eat di meja panjang dan beberapa stand yang tersedia, juga jangan lupa menyisipkan amplop di gentong uang dekat mempelai. Sementara di sisi kanan panggung hiburan yang senantiasa penuh sesak penjoged dadakan di kala biduan mendendangkan lagu.

Anehnya jika lagu dan musik berhenti, para penjoged teler tersebut berhenti dan duduk-duduk di kursi undangan atau di pinggir panggung. Apa betul mereka teler? Entahlah, yang pasti siapapun bernyanyi dan musik bersuara lagi. Mereka serempak bergerak, bergoyang, tersenyum bahagia dan tangan kiri nya menggenggang puluhan uang kertas aneka nominal. Kebanyakan nominal dua ribuan sementara yang lembar seratur ribu hanya satu. Itupun dipegang saja tidak diberikan ke penyanyi. Istilahnya saweran.

Mereka bersaing melemparkan uang ke arah penyanyi seolah uang itu begitu mudah di dapat, andaikan setiap joged 10 sampai 20 lembar dua ribuan di lemparkan maka Rp 20.000 sd Rp.40.000 per orang per lagu. Yang joged 5 - 6 orang, berarti minimal 100rb uang terkumpul per lagu. Luar biasa, dermawan sekali mereka.

Iseng tanya sana sini, kebetulan keluarga mempelai wanita adalah kerabat jauh. Ternyata yang joged itu hampir semuanya bekerja serabutan atau kasarnya pengangguran agak terselubung. Susah cari duit tapi kontras sekali dengan gayanya menyawer uang kepada penyanyi seolah pohon uang tumbuh di pinggir panggung. Awalnya miris bin sedih. Tapi di fikir lagi mungkin ini adalah momen yang baik untuk melupakan beban kehidupan. Suara biduanita dan musik menggema adalah hiburan yang jarang bagi warga lokal yang sehari-hari berjibaku mengais rejeki. Karena harus ada hajatan dulu yang di gelar maka panggung akan terpancang dan hiburan akan memberi rasa ceria dan bahagia meskipun hanya ber usia jam - jaman.

Hasil tanya sana sini ternyata mayoritas penjoged adalah keluarga dari mempelai, baik keluarga dekat ataupun kerabat jauh. Berarti sudah saling kenal satu sama lain malah salah satunya adalah wali dari akad nikah yang dilaksanakan tadi pagi.

Tapi sekarang semua bersaing menunjukan kebolehan menggoyangkan tangan kaki dan badan, tangan teracung menghambur uang lembar dua ribuan serta mata merah yang membara. Lagu “Kali Merah”, “Malam terakhir” hingga “Sitik sitik Joss”nya Sang joged Caesar menyihir tamu undangan dan penjoged tentunya untuk senantiasa menyemuti panggung. “Rumah Tua”, “Kehilangan”, “Cindai” dan “Basah basah basah”pun terlantun tanpa jeda hingga akhirnya lagu “Kuda lumping” memaksa hadirin berjoged trance dan moushing versi kampung. Akhirnya saling sikut terjadi, adu mulut dan kepalan tangan pun terlontar menjejak di dagu dan membakar amarah. Perkelahian tidak terhindarkan. Saling serang, saling gumul, jual beli pukulan dan tamparan. Teriakan hadirin antara khawatir terjadi apa-apa, melerai juga menyoraki jago nya untuk memenangkan perkelahian menyatu padu menambah ketegangan tapi juga keramaian dalam hajatan pernikahan tersebut. Akhirnya perkelahian terhenti menjelang adzan asyar. Biduanita dan grup organ tunggalnya berkemas meninggalkan panggung dan kembali ke dunia nyata, keluar dari hinggar bingar musik dangdut yang menghanyutkan. Malah rok mini pun berganti gamis, lengkap dengan kerudung sebagai pemanis.

Ba’da Asyar kembali tahlilan hari ke-3 kematian paman di gelar di rumah keluarga. Empat dari peserta tahlil yang dipimpin pa ustad ternyata penjoged yg berkelahi tadi. Berbaju taqwa dan kopiah meski tak bisa menyembunyikan mata yang masih memerah. Rupanya telah alih profesi.

Sungguh berwarna romantika kehidupan masyarakat yang begitu normal awalnya, berubah bergairah haus hiburan disertai minuman tetapi masih bisa mengikuti tahlilan di sore harinya. Inilah secuplik gambaran kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar